Thekalimantanpost.com, Ketapang – mengkonsumsi daging hewan liar beresiko tertulari virus berbahaya. Misalnya mengkonsumsi Trenggiling maka beresiko tinggi tertulari zoonosis. Zoonosis adalah penularan penyakit dari satwa ke manusia maupun sebaliknya.
“Antraks, ebola, sars, flu burung H5N1, dan coronavirus atau covid-19 adalah contoh zoonosis yang telah dihadapi manusia di bumi,” ungkap Animal and Habitat Protection Yayasan Palung (YP), Erik Sulidra kepada wartawan Thekalimantanpost.com melalui rilisnya, Senin (5/4).
Ia menjelaskan satwa liar berpeluang menjadi inang berbagai virus sebelum menjangkiti manusia. Bahkan disinyalir juga menjadi faktor utama munculnya Covid-19 mirip SARS dan MERS-CoV dan termasuk covid-19 diduga berasal dari kelelawar. Sel virus di kelelawar tersebut diduga berpindah ke trenggiling dan akhirnya dimakan manusia.
“Saat ini kita masih berjuang untuk melawan Covid-19. Pada masa pandemi ini merupakan momentum yang baik bagi kita untuk mulai mengurangi konsumsi hewan liar. Khususnya yang terancam punah dan dilindungi undang-undang seperti trenggiling,” tuturnya.
“Marilah kita menjaga habitat asli mereka. Tidak mengganggu satwa liar dan tidak merusak habitat alaminya merupakan solusi yang tepat mencegah terjadinya wabah virus di masa mendatang. Selain mengurangi resiko terpapar zoonosis juga menghindarkan kita dari ancaman penjara akibat memburu atau mengkonsumsinya,” lanjutnya.
Erik menambahkan para peneliti di China telah menetapkan bahwa trenggiling pembawa virus yang berhubungan erat dengan Covid-19. Sebab itu mengurangi hingga menghentikan konsumsi satwa liar. Maka kita sudah berkontribusi dalam mencegah kepunahan hewan itu dan mengurangi risiko penularan penyakit berbahaya.
Menurutnya di dunia ada delapan jenis trenggiling yakni empat spesies di Afrika dan empat spesies di Asia. Trenggiling tersebut kini hidupnya makin terancam karena perburuan secara illegal. Bahkan, trenggiling yang ada di Indonesia merupakan satu dari dua spesies trenggiling yang kritis terancam punah.
Hal tersebut menurut daftar merah International Unio Of Conservation of Nature (IUCN). Spesies kritis terancam punah lainnya adalah trenggiling Cina yang hampir punah pada pertengahan tahun 1990.
Komisi Keselamatan Spesies Pangolin IUCN pada 2020 melansir bahwa seekor trenggiling diambil secara ilegal dari alam liar setiap lima menit. Hal ini membuat trenggiling menjadi mamalia liar yang paling sering dan banyak diperdagangkan di seluruh dunia.
Ditambah lagi dengan lajunya kerusakan habitat tempatnya berdiam membuatnya semaki terancam punah. Berdasarkan sumber Tempo.Co lebih dari 1 juta atau setara 11 trenggiling setiap jam dibunuh. Hewan dilindungi itu dibunuh secara brutal untuk perdagangan pasar gelap dalam 10 tahun terakhir.
“Begitu juga trenggiling yang hidup di hutan-hutan Indonesia termasuk hutan di Kalimantan. Khususnya di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara juga tak luput dari ancaman kepunahan. Tidakkah kita merasa perlu melindungi mereka dari ancaman kepunahan,” ujarnya.
Ia menambahkan trenggiling merupakan satu-satunya mamalia yang seluruh tubuhnya tertutup keratin. Lebih kurang 20% dari jumlah bobot tubuhnya datang dari sisik. Sisik ini terbuat dari keratin, material serupa yang membentuk kuku kita.
Meskipun demikian, masih banyak orang yang percaya bahwa sisik trenggiling bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Padahal menurutnya sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang mendukung klaim bahwa bagian tubuh trenggiling apalagi kulitnya memiliki kandungan untuk keperluan obat-obatan.
“Coba saja kuku manusia dijadikan bahan untuk obat apakah bisa atau tidak. Sebab itu mari kita mulai sekarang menghentikan perburuan dan konsumsi hewan liar. Terutama hewan-hewan yang dilindungi dan terancam punah seperti trenggiling,” ajaknya. (bnd)