Oleh: Amon Stefanus
TheKalimantanpost- Peran Guru Rehal di Randau
Dalam Catatan Pastor Leo de Jong, O.F.M.Cap. selama menjadi tahanan Jepang di Kuching dikatakan, bahwa Randau harus berterima kasih atas jasa Guru JOHANES XAVERIUS REHAL, seorang laki-laki dari Serengkah dan yang adalah teman masa kecil Pacificus F. Bantang.
Setelah kepergian Bantang yang dibawa Mgr. Bos untuk sekolah ke Sejiram pada tahun 1918, Rehal merasa kesepian dan itulah sebabnya dia juga ingin belajar di sekolah yang baru dibuka. Dia juga ingin menjadi guru seperti temannya, dan karena tidak ada kesempatan lain, dia meninggalkan Serengkah untuk menyelesaikan sekolah menengah di Nanga Tayap dengan menanggung segala risikonya sendiri.
Akhirnya, ia juga ingin menjadi Katolik seperti Bantang, dan hal ini menyebabkan banyak kesulitan bagi studinya. Dia meminta dan memperoleh buku-gereja tua dari seorang Katolik Tionghoa. Pertama-tama ia mulai belajar doa-doa, sebuah pekerjaan yang berat untuk seorang bocah laki-laki Dayak yang ketika itu masih kurang pengetahuan. Meskipun ada ajaran Katolik yang nampak aneh baginya, dia tetap tekun.
Berkat perilakunya yang baik dan kemajuan yang pesat, ia dibiayai oleh negara untuk belajar menjadi guru. Dengan demikian ia memiliki akses untuk berhubungan dekat dengan Islam dan dunia Melayu. Namun dia tetap setia pada niatnya, seperti kemudian Guru Tjoroh, dia menghadapi semua situasi yang sulit. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai guru di Semapau, 18 km di hulu Randau, dan dengan bakat jeniusnya dia tahu bagaimana cara menarik anak-anak sekolah untuk bergabung dengannya. Dia mencari pasangan di Serengkah dan ingin menentukan pilihannya sendiri tanpa ikut campur orang tuanya. Pilihannya jatuh pada seorang gadis yang baik hati, penuh dengan aroma frambos: “karena jiwa melampaui tubuh”, katanya. Dia juga menerima Alkitab Protestan dari Daerah Misi Kudangan dan bacaan tersebut berhasil membangkitkan kesalehan dalam hatinya dan juga semua hal yang baik dan mulia.
Di Semapau Rehal telah mengatur ruang doa, di mana dia dan istrinya membaca dan bermeditasi. Di tempat itu juga belajar kebenaran yang paling utama dari anak-anak sekolah internal, dari buku gereja Katolik dan Alkitab Protestan. Kebanyakan murid internal berasal dari Randau, dan dari keturunan campuran Katolik dan Protestan berkembanglah katekumen pertama, yang menurut statistik lama sekitar 20 jumlahnya
Begitulah orang-orang Randau pertama yang belajar ajaran Kristen dari guru Rehal. Pada tahun 1929 Rehal meminta P. Marcellus, yang menjalankan misinya di Sandai, untuk mengunjungi Semapau sambil membawa buku-buku Katolik untuk diberikan ke banyak katekumen. Ini harus ditunda sampai tahun berikutnya.
Laporan dari P. Marcellus menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya pada akhir September 1930 ia mengunjungi kampung Semapau dan Randau atas usul dan di bawah arahan dari seorang Katolik Tionghoa bernama A Long Chen dari Sandai. Kepala kampung di Randau, Lentok, sangat menghargai kunjungan ini dan menyarankan untuk mendirikan sekolah misi di kampungnya, untuk mencegah pelanggaran dan imoralitas yang ada.
Sekitar 1918 Monsinyur Bos mengunjungi Kampung Randau, tetapi perwakilan sekolah tidak ada yang bisa datang saat itu. Kunjungan tersebut terlihat menguntungkan. Maka semua bantuan dan dukungan dijanjikan untuk sekolah dan rumah guru. Masih dalam perjalanan yang sama, pendirian sekolah disetujui oleh otoritas, Roeqwaes dari Nanga Tayap. Keputusan tersebut tanpa sepengetahuan Panembahan Matan dan berakibat pada banyak kerugian yang dialami Randau di masa depan, seperti yang akan diperlihatkan dalam sejarah selanjutnya. Pada akhir tahun 1930, pendidikan dimulai oleh J.J. Bahar, murid senior Serengkah dan di rumah Orang Kaya Lontor. Orang yang sangat berpengaruh, tetapi telah ditahan karena membantu pekerja paksa melarikan diri.
Pembukaan Sekolah Baru di Randau
Pada tahun 1931, sekitar bulan Februari, sekolah baru dibuka. Pada bulan Mei, guru Manado yang terampil tetapi juga sadar diri H. Pandi mengambil alih kepengurusan untuk menghindari kesulitan yang akan datang.
Penerus Guru Pandi sementara adalah guru A. Sawat. Ia mulai mengajar sekolah misi di Randau tahun 1936. Penunjukkan tersebut dilakukan karena guru S.Tjoroh sementara tinggal di Nyarumkop untuk mengikuti pelatihan katekumen agar ia dapat menjadi lebih mahir dalam praktik agama.
Pada tahun 1936, guru Silvester Tjoroh mengambil alih kepengurusan sekolah dan seperti pendahulunya, Guru Bantang sukses di Serengkah, ia meraih kesuksesan di Randau. Berkat kehati-hatiannya, Guru Tjoroh mampu menghindari sebagian besar kesulitan dan tetap bertahan. Pada era kepemimpinan guru Tjoroh sekolah mengalami masa kejayaan dan berhasil menjaring sampai 70 murid.
Pada September 1940 P. Donatus Dunselman, sebagai inspektur, mengunjungi sekolah Randau untuk menandatangani petisi yang serupa dengan Serengkah, yang akhrinya ditolak. Sekolah ini mengalami kemerosotan karena terjadi pertentangan di dalam masyarakat. Ada intrik dan adu domba sehingga sekolah misi ini mengalami hambatan dalam meraih kemajuan dan terancam bubar.
Misi Para Pastor Pasionis
Pada tahun 1946 Karya Pater Kapusin di sebelah selatan diserahkan kepada Para Pater Pasionis. Tiga misionaris perintis yang dikirim ke Kalimantan adalah P. Plechelmus Dullaert, CP, P. Bernardinus Knippenberg, CP dan Pater Canisius Pijnappels, CP. Sampai tahun 1947 ketiga Pater Pasionis ini masih didampingi 2 Pater Kapusin yaitu Pater Martinus, O.F.M. Cap. dan Pater Leo de Jong, O.F.M. Cap.
Pada tahun 1948 para Pastor Pasionis mulai memperkuat daerah misi yang baru dibuka di Randau. Mulai tahun 1948 ini P. Augustinus Dullaert, CP menetap dan menjadi Pastor Paroki di Randau. Dalam catatan Harian P. Bernardinus Knippenberg, CP pada bulan September 1948 Pater Plechelmus (adik P. Augustinus dan misionaris perintis) mengunjungi Randau, Sepotong Menyumbung dan Sekukun. Diceritakan bahwa beliau tahan dan kuat berjalan kaki berhari-hari di hutan-hutan rimba.
Pada 16 Februari 1949 P. Bernardinus melakukan pekerjaan merasul ke Sandai. Ia diperintahkan untuk pergi ke Randau. Menurut pengamatan Pater Bernardinus Randau adalah kampung yang bagus, mempunyai harapan besar bagi perkembangan agama. Keadaan sekolah, sangat sederhana dan kurang bagus, sekolah juga digunakan sebagai tempat menginap. Sekolah peninggalan para pastor Kapusin ini mempunyai tiga orang guru dengan 100 orang murid. Ada rencana pembuatan gereja baru. Motor air kepunyaan P. Agustinus kurang kuat untuk hilir mudik, untungnya ada banyak perahu untuk numpang hilir. Kembali speed baru belum mungkin, karena keuangan masih kurang.
Pada 1 Desember 1950. Mgr.Valenberg bersama-sama dengan P. Rafael Kleyne, CP (superior) pergi ke pedalaman, mengunjungi stasi-stasi dan memberikan Sakramen Krisma. Ini merupakan perjalanan Mgr. pertama kali sesudah perang dunia II Tumbang Titi. Serengkah, Tanjung dan Randau yang dikunjungi. Walaupun menempuh jalan yang tidak mudah. Secara kebetulan, waktu itu pengangkutan lumayan, cukup bail dan teratur . Dimana Mgr.hadir, disitu disambut dengan cara istimewa.
Dalam catatan P. Bernardinus pada 12 April 1952 P. P.Plechelmus pergi ke Randau, dimana P.Agustinus, abangnya, akan merayakan pesta perak profesinya. Ini adalah tahun ke-4 P. Augustinus menjadi pastor paroki di Randau. Tahun depan ia akan pindah ke Sepotong. Pastor yang melayani Randau adalah P. Raymundus de Groot, CP dan P. Edward Corbey, CP
Kunjungan berikutnya ke Paroki Randau terjadi pada bulan Maret 1953. Vikaris Delegatus. P. Gabriel dan P. Plechelmus ke Randau memakai Bintang Timur. Bintang Timur adalah motor air milik Pasionis yang biasa digunakan untuk turne ke pedalaman. Mereka sampai ke kampung itu, walaupun perjalanan berbahaya, penuh kayu dan batu-batu besar di sepanjang air.
Kemudian pada 28 Oktober 1953 Pater Gabriel, P. Raymundus dan P.Yerun berangkat ke hulu dengan Bintang Timur. Kepergian P.Gabriel sebagai visitasi, dari Randau ke Sepotong. Dari Kuala Semapau berjalan kaki, kulit kakinya semacam terbakar, dan infeksi. Dua minggu lamanya baru sembuh. Sedangkan P. Yerun ditempatkan di Tumbang Titi.
Pada 28 Agustus 1955 terjadi peristiwa sejarah yang patut dicatat. Ada empat gadis Dayak yang pertama yang menjawab panggilan sebagai calon Suster Agustinus. Mereka adalah Marsia Enjol, Yulia Yoka, Marsia Tembaga, dan Florentina Dondot. Dari keempat gadis tersebut 2 orang pertama berasal dari Randau Sedangkan Marsia Tembaga dari Menyumbung dan Florentina Dondot dari Sekukun.
Melihat adanya perkembangan umat di Randau maka direncanakan akan dibangun gedung sekolah dan gereja di Randau. Pada tanggal 29 April 1958 Pater Bernardinus pergi ke Randau dan Sepotong, membawa bahan-bahan bangunan. Pater Theopile ikut serta untuk bekerja di Randau karena waktu ini tidak baik untuk cuti.
Pada tanggal 9 Januari 1977 kembali Randau mencatat sejarah. Dari 3 orang penerimaan Postulan-postulan di biara Suster Agustinus 2 orang berasal dari Randau yaitu: Anastasia Maria Andut dan Yustina Onos asal Randau. Sedangkan 1 orang rekan mereka adalah Magdalena Ubai berasal Beringin, Serengkah,
Para Pastor Pasionis boleh berbangga karena setelah sekian lama mereka berkarya di Ketapang, maka pada 11 Juli 1990 P. Krisantus, CP yang berasal dari Randau ditahbiskan oleh Mgr. Bl. Pujaraharja di Randau. Ia adalah putra Dayak pertama yang ditahbisan menjadi imam Pasionis. Pada pentahbisan itu Uskup Ketapang didampingi P. Jeroen Stoop CP (Vikjen) dan Vikarius Pasionis di Indonesia. P. Paulus Aureli CP serta 8 imam CP dan praja di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus.
Para Pastor yang Pernah Bertugas di Paroki Randau
1) P. Augustinus Dullaert, CP (1948 – 1952)
2) P. Plechelmus Dullaert, CP (1948 – 1950)
3) P. Canisius Pijnappels, CP (1949 – 1954)
4) P. Laurentius Puts, CP (1949 – 1952)
5) P. Raymundus de Groot, CP (1952 – 1959)
6) P. Edward Corbey, CP (1953 – 1960)
7) P. Theopile Seesing, CP (1958 -1961)
8) P. Basilius Van De Boom, CP (1966 – 1981)
9) …..
Demikianlah sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus dari Randau. Mohon dilengkapi dan masukkan terutama dari umat Paroki Randau.
Sumber Tulisan:
1) Trika, 40 Tahun Karya Pasionis di Indonesia, Ketapang (1986)
2) Laurensius Sutadi dan Amon Stefanus, Awal Karya Keselamatan di Ketapang, Catatan P. Leo de Jong, O.F.M.Cap, dari Balik Penjara Jepang di Kuching, Keuskupan Ketapang (2019)
3) Amon Stefanus (editor), Catatan Harian Pater Bernardinus Knippenberg, CP, Jejak-Jejak Penyelamatan di Tanah Kayong (Ketapang), Keuskupan Ketapang, 2018.