PERJUMPAAN
pulang lagi kekotamu sepi mengiring langkah menyusuri puing puing
yang telah lama kutinggalkan
kotamu semakin uzur tempat kita pernah berbagi
menoreh puisi didinding malam selalu lengang dari tawatawa wanita yang terjaga dari tidur siang
lalu menghampiri kita ketika asyik main domino
teman kita malammalam yang telah lewat adalah botolbotol berserakan
pernah juga kita campur capcuan sementara kartu domino tetap menari
diantara desah nafas menggoda, diantara desah nafas yang keluar
dari mulut mungil diujung jalan menggoda malam terpental disanubari
: pulang lagi ke kotamu
teman kita berbeda kini bukan botolbotol berserakan tapi katakata yang kita pungut tadi siang
diujungujung ilalang tak sanggup diterbangkan angin
malam ini kita terus membanjiri jalan dengan katakata yang kita pungut tadi siang
ketika vegamu menyeruduk pejalan kaki yang mencacimaki kita tetap melaju
teman kita malam ini bukan domino tapi dominasi semumu yang membuka otakku
lama terkunci dari ke siasiaan perjalanan panjang
membuka lembaranlembaran tentang puingpuing kita yang kau nyatakan
modernisasi absurd (*)
SURAT UNTUK SAHABAT
seperti ceritamu malam ini
aku juga ingin berbagi
mungkin kau sangsi tadi siang aku melewati kamu
melemparkan kesombongan lama yang tak pernah terlepas
sejak dulu lagi sampai pada titik kulminasi keangkuhan yang mendera
dikisikisi hari terus berlari berlomba mencari yang terbaik diantara kita
seharusnya kau tetap disini
menemani pertapa tua yang setia menunggu embun atau hujan
menjadi permandian kita ketika ditarik ke rawa dan paya yang melintas diotak gelisah
seperti ceritamu malam ini
aku ingin berbagi
kesangsian melintas lagi
dibawa gagak melepaskan sayapnya ketika menarik kamu yang setia
menemani malam disuguhkan cerita sama dari bibir mungil terselip sebatang rokok
seperti ceritamu malam ini
aku berbagi
bahwa kamu mulai mengukur resah yang meluap melebihi banjir
pernah kita nyatakan disepanjang kapuas berenang gadis muda
membelai malam seperti ular yang setia menunggu adam dan hawa
“mungkin kita tak usah berbagi,katakanlah malam ini kita tak pernah bertemu” (*)
RINDUKU TANAH LELUHURKU
: nasibku
takdirku
malamku berkeluhkesah pada angin melintas
membawa segurat kehampaan pada jiwaku semakin kerontang
kepakan burung hantu dan nyanyian jangkrik
memang sedikit memaksa memicingkan mata
: kerinduan akan tanah leluhur mengajakku bermain dalam renjana ini
takdir mungkin berkata lain, lahir dari rahimrahim penyihir tua
mencari kebenaran pada embunembun menetes tak juga melembabkan jiwaku yang rindu pada tanah leluhur
: bermandikan cahaya bulan berlari diantara bintangbintang
menari jangkrik bernyanyi
tanah leluhur disana telah terkubur bayangku, tangisku, tawaku
tanah leluhur disana telah terkubur khayalku
tapi nasibku ada ditanganMu
walau ditanah baruku, nasib mungkin masih tertinggal di tanah leluhurku
memang malamku selalu mampir memburu kesepian tak beranjak selalu terpatri
tak bisa ia berlari karena lelah jiwajiwaku memang harus selalu tersisa di sini
: bukan di tanah leluhurku
tanah leluhurku dimana bayangku tersisa, tangisku tertinggal, tawaku tenggelam
tanah leluhurku dimana tersobek kenangku, nasibku
atau malamku yang berkeluh kesah pada angin tetap melintas begitu saja (*)
W A J A H
: a.v.
malam kelam ini lagi, mengukir kamu
yang hilang dibotolbotol tua berserakan pasti disetiap sudut kamar
menjadi wajah dalam pecahan kaca ketika kita tetap setia menunggu putaran jarum jam beredetak
(aku lupa daratan)
terombang ambing digemuruh yang tak bertepi
terus mendera mencari arus dapat membawa
lukisan wajah yang merapuh
(sebentar lagi kau luruh)
seperti aku yang jatuh (*)
BISU
semuanya memudar kini
tak ada lagi kata sepakat
lalu satu persatu lari
: menghilang atau menyusun strategi
kebisuan adalah tanda terindah
mungkin kita berdiam sebentar
lalu ngoceh, ngoceh, dan ngoceh
sampai kering air dibakbak sampah
dan pada kuburan semakin sepi
: memang sejak dulu peziarah
takut melewati rumah abadi ini
bila nurani yang kita tanya telah melewati jam malam
bagi seorang gadis yang belajar berjalan lalu terjatuh
ketika tersandung sampah dan batubatu
apakah harus kita bimbing kembali?
: mungkin kita perlu merenungi diatas kuburan bahwa kebisuan
adalah tanda tanya terindah (*)
Biodata
Deki Triadi, S.Pd., M.A.P., lahir di Sengkubang 23 September 1978, menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di sungai Kunyit. Menyelesaikan SMA di Mempawah. Adapun S1 diselesaikan di PGSD FKIP Untan dan menyelesaikan S2 di Prodi Administrasi Publik Fisipol Untan Tahun 2018. Minat menulis puisi dan karya sastra lain ketika menimba ilmu di Prodi Bahasa dan Sastra FKIP Untan tetapi tidak selesai dan pindah ke PGSD. Pernah menjadi Ketua Sanggar Kiprah FKIP Untan tahun 1999 – 2001. Semasa di FKIP Untan juga menjadi bagian Keluarga Besar GEMPAR FKIP Untan. Mantan Wartawan Ketapang Pers dan Harian Berita Khatulistiwa ini puisinya pernah diterbitkan dalam berbagai antolongi puisi. Sekarang aktivitas utama sebagai PNS di Kantor Camat Benua Kayong dan masih aktif menulis.