Puisi-Puisi Deki Triadi

PERJUMPAAN

pulang lagi kekotamu sepi mengiring langkah menyusuri puing puing

yang telah lama kutinggalkan
kotamu semakin uzur tempat kita pernah berbagi

menoreh puisi didinding malam selalu lengang dari tawatawa wanita yang terjaga dari tidur siang

lalu menghampiri kita ketika asyik main domino

teman kita malammalam yang telah lewat adalah botolbotol berserakan

pernah juga kita campur capcuan sementara kartu domino tetap menari

diantara desah nafas menggoda, diantara desah nafas yang keluar

dari mulut mungil diujung jalan menggoda malam terpental disanubari

: pulang lagi ke kotamu

teman kita berbeda kini bukan botolbotol berserakan tapi katakata yang kita pungut tadi siang

diujungujung ilalang tak sanggup diterbangkan angin

malam ini kita terus membanjiri jalan dengan katakata yang kita pungut tadi siang

ketika vegamu menyeruduk pejalan kaki yang mencacimaki kita tetap melaju

teman kita malam ini bukan domino tapi dominasi semumu yang membuka otakku

lama terkunci dari ke siasiaan perjalanan panjang

membuka lembaranlembaran tentang puingpuing kita yang kau nyatakan

modernisasi absurd (*)

SURAT UNTUK SAHABAT

seperti ceritamu malam ini
aku juga ingin berbagi

mungkin kau sangsi tadi siang aku melewati kamu

melemparkan kesombongan lama yang tak pernah terlepas

sejak dulu lagi sampai pada titik kulminasi keangkuhan yang mendera

dikisikisi hari terus berlari berlomba mencari yang terbaik diantara kita

seharusnya kau tetap disini

menemani pertapa tua yang setia menunggu embun atau hujan

menjadi permandian kita ketika ditarik ke rawa dan paya yang melintas diotak gelisah

seperti ceritamu malam ini

aku ingin berbagi
kesangsian melintas lagi

dibawa gagak melepaskan sayapnya ketika menarik kamu yang setia

menemani malam disuguhkan cerita sama dari bibir mungil terselip sebatang rokok

seperti ceritamu malam ini
aku berbagi
bahwa kamu mulai mengukur resah yang meluap melebihi banjir

pernah kita nyatakan disepanjang kapuas berenang gadis muda

membelai malam seperti ular yang setia menunggu adam dan hawa

“mungkin kita tak usah berbagi,katakanlah malam ini kita tak pernah bertemu” (*)

RINDUKU TANAH LELUHURKU

: nasibku
takdirku
malamku berkeluhkesah pada angin melintas

membawa segurat kehampaan pada jiwaku semakin kerontang

kepakan burung hantu dan nyanyian jangkrik

memang sedikit memaksa memicingkan mata

: kerinduan akan tanah leluhur mengajakku bermain dalam renjana ini

takdir mungkin berkata lain, lahir dari rahimrahim penyihir tua

mencari kebenaran pada embunembun menetes tak juga melembabkan jiwaku yang rindu pada tanah leluhur

: bermandikan cahaya bulan berlari diantara bintangbintang
menari jangkrik bernyanyi

tanah leluhur disana telah terkubur bayangku, tangisku, tawaku
tanah leluhur disana telah terkubur khayalku
tapi nasibku ada ditanganMu

walau ditanah baruku, nasib mungkin masih tertinggal di tanah leluhurku

memang malamku selalu mampir memburu kesepian tak beranjak selalu terpatri

tak bisa ia berlari karena lelah jiwajiwaku memang harus selalu tersisa di sini

: bukan di tanah leluhurku
tanah leluhurku dimana bayangku tersisa, tangisku tertinggal, tawaku tenggelam

tanah leluhurku dimana tersobek kenangku, nasibku

atau malamku yang berkeluh kesah pada angin tetap melintas begitu saja (*)

W A J A H

: a.v.
malam kelam ini lagi, mengukir kamu

yang hilang dibotolbotol tua berserakan pasti disetiap sudut kamar

menjadi wajah dalam pecahan kaca ketika kita tetap setia menunggu putaran jarum jam beredetak

(aku lupa daratan)

terombang ambing digemuruh yang tak bertepi

terus mendera mencari arus dapat membawa

lukisan wajah yang merapuh

(sebentar lagi kau luruh)
seperti aku yang jatuh (*)

BISU

semuanya memudar kini
tak ada lagi kata sepakat
lalu satu persatu lari

: menghilang atau menyusun strategi
kebisuan adalah tanda terindah
mungkin kita berdiam sebentar
lalu ngoceh, ngoceh, dan ngoceh
sampai kering air dibakbak sampah
dan pada kuburan semakin sepi

: memang sejak dulu peziarah
takut melewati rumah abadi ini
bila nurani yang kita tanya telah melewati jam malam
bagi seorang gadis yang belajar berjalan lalu terjatuh
ketika tersandung sampah dan batubatu
apakah harus kita bimbing kembali?

: mungkin kita perlu merenungi diatas kuburan bahwa kebisuan

adalah tanda tanya terindah (*)


Biodata

Deki Triadi, S.Pd., M.A.P., lahir di Sengkubang 23 September 1978, menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di sungai Kunyit. Menyelesaikan SMA di Mempawah. Adapun S1 diselesaikan di PGSD FKIP Untan dan menyelesaikan S2 di Prodi Administrasi Publik Fisipol Untan Tahun 2018. Minat menulis puisi dan karya sastra lain ketika menimba ilmu di Prodi Bahasa dan Sastra FKIP Untan tetapi tidak selesai dan pindah ke PGSD. Pernah menjadi Ketua Sanggar Kiprah FKIP Untan tahun 1999 – 2001. Semasa di FKIP Untan juga menjadi bagian Keluarga Besar GEMPAR FKIP Untan. Mantan Wartawan Ketapang Pers dan Harian Berita Khatulistiwa ini puisinya pernah diterbitkan dalam berbagai antolongi puisi. Sekarang aktivitas utama sebagai PNS di Kantor Camat Benua Kayong dan masih aktif menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *