Thekalimantanpost.com, Ketapang – Raja Hulu Aik menyelenggarakan Ritual Adat Maruba di Kecamatan Hulu Sungai pada 25 hingga 26 Juni lalu. Kegiatan yang dilaksana rutin tiap tahun pada tanggal tersebut ini berlangsung lacar dan sukses. Pada acara ini dihadiri Peneniliti Kerajaan Hulu Aik dari Kabupaten Sanggau yakni Dolanang dan Ariyanto.

Mereka menyampaikan sedikit mengenai hasil penelitiannya yang dilakukan selama belasan tahun. “Bersama Tuanku Yang Mulia Patih Singa Bansa, Raja Ulu Aik ke-51 (Tanjungpura kuno) di Laman Sengkuang, ibukota kerajaan,” ucap Dolanang mengawali pemaparannya saat acara berlangsung melalui rilis Humas Kerajaan Hulu Aik, Thomas Tion kepada Thekalimantanpost.com di Ketapang, Selasa (29/6).

“Saya menghadiri undangan beliau untuk suatu upacara penghormatan dan memandikan benda-benda pusaka milik kerajaan yang disebut Maruba. Bersamaan upacara Maruba, juga dilakukan pengangkatan dan penganugerahan gelar kepada tokoh Dayak, yang berjasa bagi kerajaan dan keluarganya seperti Patih Jaga Pati dan Petinggi Mangku Dangeri,” lanjut Dolanang.

Ia pun memaparkan bahwa Kerajaan Ulu Aik adalah kerajaan tertua di Kalimantan Barat (Kalbar). Semasa dengan Kerajaan Nansarunai di Kalimantan Selatan dan Kerajaan Wijayapura di Sarawak. Serta Kerajaan Kutai Martadipura di Kalimantan Timur maupun Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.

Khusus Kerajaan Hulu Aik sudah eksis sejak abad ke 4 Masehi hingga sekarang dan telah memiliki 51 Raja, turun temurun. Ibukota Kerajaan di Laman Sengkuang, hulu Sungai Pawan, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai Kabupaten Ketapang, Kalbar. Pada saat ini Patih Singa Bansa adalah satu-satunya Raja yang beragama non muslim di seluruh Pulau Kalimantan.

Wilayah kekuasaannya dikenal sebagai Laman atau Desa Sembilan Domong Sepuluh yang meliputi seluruh Kabupaten Ketapang. Kemudian sebagian Kabupaten Kayong Utara yakni Kecamatan Simpang Hilir, Seponti dan Sukadana. Sebagian Kabupaten Sanggau yakni Keca Meliau, Tayan Hilir dan Toba. Serta sebagian Kabupaten Kubu Raya yakni Kec Terentang, Batu Ampar dan Kubu.

Menurutnya Kerajaan ini mengalami masa emas pada masa Pemerintahan Raja Patih Golor Mandang atau dikenal sebagai Raja Siaq Bahulun, Raja yang memiliki banyak budak. Panglima perangnya yang terkenal yakni Singa Tedong Rusi, Pernah menyerang Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) di hulu Sungai Entabai, anak Sungai Sekayam dan membuat negeri itu ditinggalkan penduduknya.

Dalam penelitian mereka selama sebelas tahun, juga ditemukan bahwa peradaban Dayak Togag di Laman Pupu Tagua, Laman Tanjung Bungai di Pegunungan Schwanner-Muller pindah untuk pertama kalinya ke Bumbun Maya. Kemudian pindah untuk kedua kalinya ke Benua Raya.

Selanjutnya, dari Benua Raya, Kerajaan Hulu Aik menyebarlah ke Sepode, Kapuas, Segolap dan Labai. Dari Benua Raya sampai Sepode, pada tahun 1340 M, berkembang menjadi Kerajaan Benua Raya dipimpin Adipati Batu Antik. Kerajaan Adipati ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bakulapura atau Tanjungpura.

“Setelah tahun 1540 M, Kerajaan Benua Raya pindah ke Kapuas, yang dikenal dengan Kerajaan Tayan. Adipati pertamanya adalah Dayang Laga Batu Puteh di bawah kekuasaan Kerajaan Tanjungpura juga,” ungkap Dolanang.

Ia melanjutkan Kerajaan Tayan kemudian memisahkan diri dari Kerajaan Tanjungpura Pada 1630 M. Raja pertamanya yakni Putra Mahkota Kerajaan Tanjungpura bernama Likar. Kemudian Pada 1747 M, Gusti Komarudin mengangkat Tumenggung Mangko sebagai Mangku Setya Raja.

“Pada tahun 1853, Tumenggung Abong menjadi Mangku Pertama di Kampung Beginjan dan Mangku Tapoh sebagai Mangku yang terakhir,” jelasnya.

Dolanang dan Ariyanto juga mencatat, sekitar tahun 200 SM, di Tanah Tanjung Kuring, Kalimantan Tengah, Singkumang Si Tongkat Langit mengutus Gremeng untuk menjadi Raja Dayak, dengan memberi Keramat Raja Tongkat Rakyat, yang menjadi simbol abadi bangsa Dayak.

“Sampai kini pun, Keramat Raja Aik tersebut masih dipelihara baik oleh keturunan Raja Hulu Aik di Laman Sengkuang, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Ketapang,” ucapnya.

Mereka juga mencatat, pada tahun 1957, Raja Bibek mendirikan Tiang Bendera Keramat Raja Tongkat Rakyat di Desa Beginjan, Tayan Hilir. Keramat Tiang Bendera tersebut adalah sebagai simbol ikatan kekeluargaan yang terjalin selama Adipati Batu Antik berkuasa sejak tahun 1540.

Catatan sejarah tentang Raja Hulu Aik pernah juga ditemukan oleh Kauru Zuzika, seorang peneliti Jepang. Mahasiswa S3 Jepang itu menemukan kisah tentang Raja Hulu Aik di sebuah buku di sebuah perpustakaan di Belanda.

“De Radja Oeloe Ajer verschijnt voor den regerenden vorst van Matan, zonder de gowone pligtplegingen; taal van een ondergeschikte,”. Demikian penggalan kalimat tentang Raja Hulu Aik, yang tertulis di sebuah buku di sebuah perpustakaan di Belanda.

“Raja Ulu Aik muncul di hadapan pangeran Matan yang memerintah, secara diam-diam; sebagai rakyat biasa,” begitu terjemahannya.

Kamaru, yang bernama Indonesia Jedo juga menemukan kisah tentang Raja Hulu Aik di sebuah buku yang ada di sebuah perpustakaan di Amerika Serikat.

“Toengkat Ra’jat, Dayak chief of Moeara Kajong, recived orders from the Japanese to report to Ketapang, but refused, saying the Japanese should visit him first. No further action was taken by the Japanese,” demikian tulisan yang ditemukan Jedo, yang pernah dua tahun meneliti tentang Kerajaan Hulu Aik.

“Tonngkat Rakyat, kepala suku Dayak Moeara Kayong, menerima perintah dari Jepang untuk melapor ke Ketapang, tetapi menolak, dengan mengatakan bahwa Jepang harus mengunjunginya terlebih dahulu. Tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil oleh Jepang,” begitu terjemahannya jelas Dolanang. (bnd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *