TheKalimantanpost- Pagi itu aku membawa mobilku menuju sebuah rumah bercat hijau. Kubunyikan klakson sebagai tanda bahwa taksi yang dipesan telah siap di depan rumahnya. Aku menunggu beberapa menit. Namun tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari rumah itu.
Tadinya aku mau membunyikan klason lagi tapi perasaanku mengatakan aku harus keluar dan mengetuk pintu rumah itu saja.
Aku membuka pintu mobil, berjalan melalui taman di depan rumahnya.
“Taman yang cukup terawat”, pikirku. Aku mulai mengetuk pintu rumahnya.
Terdengar sebuah suara : “Tunggu sebentar ya”.
Suaranya lemah, sepertinya sudah berusia senja.
Lalu aku dengar langkah kaki dan sesuatu yang diseret menuju ke pintu tempat aku berdiri.
Tak lama pintu terbuka.
Seorang wanita tua berdiri di depanku. Dia mengenakan baju berwarna ungu dan kerudung berwarna senada yang dipakai diatas kepalanya.
Aku menebak umurnya mungkin sekitar 70 an tahun.
Di sampingnya terdapat sebuah koper kecil yang tadi terdengar diseret. Tidak ada orang lain di rumah itu, bahkan aku perhatikan semua perabotan disana sudah kosong, terlihat beberapa dus bekas dan meja kecil yang ditutup koran.
Sepertinya pemiliknya akan meninggalkan rumah itu dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak ingin kembali kesana.
“Apakah Anda bisa membawa koper saya ke mobil? ” dia bertanya.
Aku mengangguk lalu mengambil koper dan memasukannya dalam bagasi taksi, kemudian kembali untuk membantu wanita itu.
Dia memegang lenganku dan kami berjalan perlahan menuju tepi jalan tempat aku memarkirkan kendaraanku.
Wanita tua itu berterima kasih kepadaku karena mau memegangnya saat menuju taksi tadi.
“Tidak mengapa Bu…, itu sudah seharusnya saya lakukan.”
Saya jadi teringat Ibu saya sendiri. Saya senang jika Ibu saya diperlakukan dengan baik oleh orang lain.
Jadi sudah seharusnya saya juga melakukan hal yang sama pada Ibu. “Oh, Anda sepertinya anak yang baik ya”, katanya. Aku hanya tersenyum.
Ketika kami sampai di dalam taksi, wanita itu memberi aku sebuah alamat dan kemudian bertanya, “Bisakah Anda berkendara melalui pusat kota?”
“Pusat kota..? Bukankah itu malah menjadi lebih jauh kalau mau ke alamat ini Bu?” jawabku cepat.
“ Oh ya, sy mengerti, tp saya tidak terburu-buru, saya sedang dalam perjalanan ke panti jompo Nak”.
Aku melihat di kaca spion. Matanya berkilauan sepertinya dia menahan tangis. Terlihat jelas ada kesedihan terpendam di wajahnya.
“Saya tidak punya keluarga lagi Nak..,” lanjutnya dengan suara lembut.
“Suami saya sudah meninggal, saya tidak punya anak. Dokter mengatakan saya punya penyakit serius.
Jika sendirian di rumah, dokter khawatir terjadi apa-apa dengan saya, jadi dokter menyarankan agar sisa hidup saya ini dihabiskan di panti jompo saja Nak. ”
Aku diam-diam mengulurkan tangan dan mematikan argometer.
“ Ibu ingin lewat jalan apa?
Biar saya antar jalan-jalan dengan taksi saya ini”.
Ibu itu pun lalu memintaku untuk melewati jalan di kota yang cukup ramai.
Beliau menunjukkan gedung tempat dia pernah bekerja sebagai seorang sekretaris.
Kami melaju melalui sebuah perumahan, di mana ia dan suaminya pernah tinggal ketika masih pengantin baru.
Lalu beliau juga memintaku untuk berhenti di depan sebuah gudang mebel yang pernah menjadi ballroom gedung kesenian tempat di mana dia menjadi penari saat masih gadis.
Kadang-kadang dia memintaku untuk memperlambat di depan sebuah bangunan tertentu atau berhenti di sebuah sudut jalan, kemudian dia keluar dari mobil. Dia duduk di situ, menatap ke sekeliling, terkadang dia menyentuh tembok, atau benda yang ada disana. Pandangannya menunjukkan rona kesedihan, namun tidak mengatakan apa-apa.
Tanpa terasa matahari sudah mulai meninggalkan cakrawala. Hari sudah berganti gelap. Dia tiba-tiba berkata, “Aku lelah.., ayo pergi sekarang”.
Kami melaju dalam keheningan ke alamat yang telah dia berikan padaku.
Sesampainya disana, aku melihat Itu adalah sebuah bangunan, seperti rumah peristirahatan kecil.
Sekelilingnya penuh dengan tanaman hias aneka warna.
Suasananya sejuk, sangat cocok untuk menenangkan diri. Ada kolam ikan di dekat jalan menuju pintu masuk.
Beberapa kandang burung juga ada disana.
Menambah semarak suasana sekitar rumah tersebut.
Ada dua orang perempuan berbaju perawat yang keluar dari rumah kecil itu.
Mereka membawa sebuah kursi roda. Terihat garis kecemasan di wajah perawat itu. Mungkin mereka sudah mengharapan wanita tersebut dari sejak siang tadi.
Aku membuka bagasi, mengambil koper kecil dan membawanya menuju pintu masuk. Wanita itu sudah duduk di kursi roda.
“Berapa yang harus saya bayar untuk ongkos taksinya nak…? “
(Dia bertanya sambil merogoh tasnya.)
“Gak usah Bu,” kataku.
“Wah gak boleh begitu, Anda kan mencari nafkah”, jawabnya.
“gak papa bu…, nnt kan ada penumpang yg lain “.
Aku menjawab yakin.
Tanpa berpikir panjang, aku membungkuk dan memeluknya di kursi roda.
Dia balas memelukku dan memegang erat-erat tanganku.
“Nak… Anda sudah memberikan kpd seorang wanita tua ini sebuah kegembiraan yang tiada tara”. Anda sudah memberikan Perjalanan terakhir yang menyenangkan untuk saya kenang.
Terima kasih untuk semua kebaikanmu ya Nak”.
Aku meremas tangannya, dan kemudian berjalan ke dalam cahaya malam yang redup.
Di belakangku terdengar pintu menutup.
Rasanya pilu, dingin dan menyeramkan. Seperti tertutupnya sebuah harapan dalam kehidupan.
Aku tidak mengambil lagi penumpang di jalan meski ada beberapa yang meminta taksiku berhenti. Aku pergi tanpa tujuan, melamun.
Selama sisa hari itu, aku hampir tidak bisa bicara.
Pikiranku melayang saat pertama kali bertemu dengan wanita tua itu. Bagaimana jika bukan aku sopir taksi yang menjemputnya. Bagaimana jika sopir taksi yang menjemputnya itu tidak keluar dari mobil dan hanya marah-marah sambil klakson berkali-kali untuk memberitahu bahwa taksi sudah datang..?
Bagaimana jika sopir taksi itu tidak mau mengantarnya jalan-jalan seharian?
Padahal di jalan banyak penumpang yang akan memakai jasa taksinya.
Aku akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa aku telah melakukan sesuatu yang benar, selain mencari uang di jalanan dengan taksiku ini.
Bukankah hidup bagaikan roda yang berputar?
Bagaimana jika wanita tua itu adalah Ibuku sendiri?
Bagaimana jika wanita tua itu adalah istriku sendiri?
Bagaimana jika wanita tua itu adalah anakku sendiri.
Atau bahkan diriku sendiri.l
Pesan :
Sebuah tindakan kecil bisa jadi merupakan sebuah hal besar untuk orang lain. Anda mungkin tidak akan mengingat apa yang telah Anda lakukan untuk orang lain. Namun orang lain akan selalu mengingat apa yang telah Anda perbuat sehingga membuat hidupnya menjadi lebih berarti. Maka teruslah memberi manfaat untuk orang lain dan lakukan dengan sepenuh hati.
Sebab hati tidak pernah berbohong. Dia tahu mana yang harus Anda lakukan atau Anda tinggalkan.
Semoga kita juga, bisa memaknai Hidup kita & Bermanfaat bagi orang Lain..